Rabu, 11 Februari 2015

Anak Semeru, Gunung Penanggungan



Anak Semeru, Gunung Penanggungan
“Wow, great, nice!” Begitulah ekspresi yang berhasil kami terjemahkan menjadi kata-kata demi melihat keindahan pemandangan di depan mata saat tiba di puncak Gunung Penanggungan. Nan jauh di bawah sana terhampar jutaan bola lampu yang mengeluarkan sinar berwarna kekuningan, berkilauan kerlap-kerlip. Terlihat seperti sekelompok kunang-kunang yang sedang berpesta merayakan datangnya malam. Bermandikan cahaya kami segera meletakkan tas yang sedari tadi menggelantung di pundakku. Lalu kami membentangkan tangan, menutup mata, meresapi segala rasa yang dapat aku rasakan. Sementara itu angin berhembus dengan kencangnya, menularkan rasa dingin yang menusuk hingga tulang. Kami tak lagi merasakan lelah atau pun pegal, semuanya sudah menguap bersama angin dan keringat yang bercucuran di sekujur tubuh.          
                       Pemandangan puncak (tampak gunung semeru di kejauhan)

         
Flash Back
17 jam sebelum di puncak . . .
Jam menunjukkan pukul setengah 11, tepat saat jam itu perkuliahanpun selesai. Entah siapa yang memulai sebelum pulang ke kos masing-masing atau di rumah bagi yang asli Surabaya kami terbiasa mengobrol dan merencanakan kegiatan sabtu minggu kami apa bila kami tidak pulang kekampung. Surabaya? Ya benar, di Surabaya aku pernah menjalani perkuliahan selama satu tahun sebelum aku pindah ke Kampus sekarang. Kembali ke cerita, setelah beberapa lama ngobrol, hasilnya kami memutuskan untuk pergi mendaki ke gunung penanggungan.
Kami berangkat dari Surabaya jam 11 malam, kami berangkat berlima menuju mojokerto dimana salah satu pintu masuk menuju gunung Penanggungan terdapat yaitu Tamiajeng. Kami sampai di pos pemberangkatan Tamiajeng sekitar pukul setengan 1 pagi. Setelah beristirahat selama 30 menit dan berdoa kahirnya kami memulai petualangan kami mendaki gunung penanggungan. Trek awal pendakian berupa jalanan lebar yang cukup datar. Jalanan yang sudah dibatui ini digunakan oleh para petani di Desa Tamiajeng sebagai akses ke ladang. Kondisinya cukup memadai untuk dilalui oleh sepeda motor maupun mobil. Lepas itu barulah kami mulai menapaki jalan tikus di antara ladang-ladang penduduk. Malam itu langit cerah, dalam perjalanan kami bisa melihat bintang-bintang di langit dan lampu-lampu kota malang dan mojokerto. Namun sisa air yang membasahi Bumi malam itu menambah beratnya pendakian. Licinnya jalan setapak yang kami lalui seolah berkonspirasi dengan gelapnya malam. Mereka begitu kompak menguras energi dan semangat kami untuk segera tiba di puncak. Cahaya senter pun tak banyak membantu menerangi jalan terjal yang harus kami daki. Berkali-kali kami harus beristirahat memulihkan tenaga.
Kami tiba di satu tempat yang cukup datar dan luas para pendaki biasa menyebutnya sebagai puncak bayangan sesaat sebelum azan sholat Subuh terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Di tempat ini angin bertiup lumayan kencang. Maklum saja, lokasi yang disebut sebagai puncak bayangan itu tidak lagi ditumbuhi pepohonan. Hanya ada padang rumput dan semak belukar di sana-sini yang bergoyang dihembus angin. Ke depan, ke belakang, ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Rumput-rumput itu tak cukup berdaya untuk menghalau sang angin. Namun begitu sampai kami tidak berleha-leha. Segera kami mencari lokasi untuk mendirikan tenda untuk beristirahat.
                                                                         siput gunung
Trek selanjutnya didominasi oleh batu-batuan dengan kemiringan hingga 60°. Kami terpaksa merangkak menggunakan kedua tangan di beberapa lokasi. Tak jarang pula teriakan untuk mengumpulkan tenaga keluar dari mulutku. Gunung Penanggungan memang tak setinggi Gunung Semeru namun medan menuju ke puncaknya tak kalah ekstrim. Meski begitu gunung ini tetap saja menjadi favorit bagi pendaki pemula lantaran waktu pendakiannya tak sampai sehari. Selain itu, lokasinya juga tak seberapa jauh dari pusat Kota Surabaya. Di tengah perjalanan menuju puncak kami juga sempat berjumpa dengan siput gunung yang unik. Berbeda dengan siput biasa siput gunung tidak memiliki cangkang sebagai rumah atau tempat berlindungnya. Siput gunung ini mempunyai warna abu kecoklatan dengan punggung bewarna kuning emas di atasnya.
                                                        Trek menuju puncak
 “Puncak! terdengar teriakan dari kawan yang sudah sampai lebih dulu di puncak. Teriakan itu seperti pecut untuk mereka yang masih tertinggal di bawah. Teriakan itu seolah memberikan suntikan semangat baru. Puncak sudah dekat! Pendakian malam ini akan segera berakhir! Kalimat-kalimat sugesti seperti itulah yang mungkin terngiang di kepala setiap kami yang mendengarkan teriakan dari puncak tadi.
seperti ini rasanya sayang sekali jika tak diabadikan dengan kamera. Dari kejahuan tampak sinar mentari yang begitu indah muncul dari kejauhan menampakkan keindahan salah satu ciptaan-Nya, aku melangkahkan kaki ke puncak utama Gunung Penanggungan. Dari sana akan terlihat dengan jelas Gunung Arjuna dan Gunung Welirang. Di timur jauh tampak Gunung Semeru berselimutkan awan dan kabut tebal. Jauh ke arah barat seharusnya ada Gunung Lawu. Pagi ini puncak cukup ramai dengan kehadiran serombongan remaja pecinta alam yang. Ada juga beberapa rombongan dari kampus beken di Surabaya . Bahkan tak ketinggalan dua orang asing yang ikut menikmati pendakian di trek gunung Penanggungan. Memang gunung Penanggungan adalah salah satu destinasi bagus untuk dikunjungi.

Merah Putih Berkibar di Penanggungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar