Anak
Semeru, Gunung Penanggungan
“Wow,
great, nice!” Begitulah ekspresi yang berhasil kami terjemahkan menjadi
kata-kata demi melihat keindahan pemandangan di depan mata saat tiba di puncak
Gunung Penanggungan. Nan jauh di bawah sana terhampar jutaan bola lampu yang
mengeluarkan sinar berwarna kekuningan, berkilauan kerlap-kerlip. Terlihat
seperti sekelompok kunang-kunang yang sedang berpesta merayakan datangnya
malam. Bermandikan cahaya kami segera meletakkan tas yang sedari tadi
menggelantung di pundakku. Lalu kami membentangkan tangan, menutup mata,
meresapi segala rasa yang dapat aku rasakan. Sementara itu angin berhembus
dengan kencangnya, menularkan rasa dingin yang menusuk hingga tulang. Kami tak
lagi merasakan lelah atau pun pegal, semuanya sudah menguap bersama angin dan
keringat yang bercucuran di sekujur tubuh.
Pemandangan puncak (tampak gunung semeru di kejauhan)
Flash
Back
17
jam sebelum di puncak . . .
Jam
menunjukkan pukul setengah 11, tepat saat jam itu perkuliahanpun selesai. Entah
siapa yang memulai sebelum pulang ke kos masing-masing atau di rumah bagi yang
asli Surabaya kami terbiasa mengobrol dan merencanakan kegiatan sabtu minggu
kami apa bila kami tidak pulang kekampung. Surabaya? Ya benar, di Surabaya aku
pernah menjalani perkuliahan selama satu tahun sebelum aku pindah ke Kampus
sekarang. Kembali ke cerita, setelah beberapa lama ngobrol, hasilnya kami
memutuskan untuk pergi mendaki ke gunung penanggungan.
Kami
berangkat dari Surabaya jam 11 malam, kami berangkat berlima menuju mojokerto
dimana salah satu pintu masuk menuju gunung Penanggungan terdapat yaitu
Tamiajeng. Kami sampai di pos pemberangkatan Tamiajeng sekitar pukul setengan 1
pagi. Setelah beristirahat selama 30 menit dan berdoa kahirnya kami memulai
petualangan kami mendaki gunung penanggungan. Trek awal pendakian berupa
jalanan lebar yang cukup datar. Jalanan yang sudah dibatui ini digunakan oleh
para petani di Desa Tamiajeng sebagai akses ke ladang. Kondisinya cukup memadai
untuk dilalui oleh sepeda motor maupun mobil. Lepas itu barulah kami mulai
menapaki jalan tikus di antara ladang-ladang penduduk. Malam itu langit cerah,
dalam perjalanan kami bisa melihat bintang-bintang di langit dan lampu-lampu
kota malang dan mojokerto. Namun sisa air yang membasahi Bumi malam itu
menambah beratnya pendakian. Licinnya jalan setapak yang kami lalui seolah
berkonspirasi dengan gelapnya malam. Mereka begitu kompak menguras energi dan
semangat kami untuk segera tiba di puncak. Cahaya senter pun tak banyak
membantu menerangi jalan terjal yang harus kami daki. Berkali-kali kami harus
beristirahat memulihkan tenaga.
Kami
tiba di satu tempat yang cukup datar dan luas para pendaki biasa menyebutnya
sebagai puncak bayangan sesaat sebelum azan sholat Subuh terdengar sayup-sayup
dari kejauhan. Di tempat ini angin bertiup lumayan kencang. Maklum saja, lokasi
yang disebut sebagai puncak bayangan itu tidak lagi ditumbuhi pepohonan. Hanya
ada padang rumput dan semak belukar di sana-sini yang bergoyang dihembus angin.
Ke depan, ke belakang, ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Rumput-rumput itu
tak cukup berdaya untuk menghalau sang angin. Namun begitu sampai kami tidak
berleha-leha. Segera kami mencari lokasi untuk mendirikan tenda untuk
beristirahat.
siput gunung
Trek
selanjutnya didominasi oleh batu-batuan dengan kemiringan hingga 60°. Kami
terpaksa merangkak menggunakan kedua tangan di beberapa lokasi. Tak jarang pula
teriakan untuk mengumpulkan tenaga keluar dari mulutku. Gunung Penanggungan
memang tak setinggi Gunung Semeru
namun medan menuju ke puncaknya tak kalah ekstrim. Meski begitu gunung ini
tetap saja menjadi favorit bagi pendaki pemula lantaran waktu pendakiannya tak
sampai sehari. Selain itu, lokasinya juga tak seberapa jauh dari pusat Kota
Surabaya. Di tengah perjalanan menuju puncak kami juga sempat berjumpa dengan
siput gunung yang unik. Berbeda dengan siput biasa siput gunung tidak memiliki
cangkang sebagai rumah atau tempat berlindungnya. Siput gunung ini mempunyai
warna abu kecoklatan dengan punggung bewarna kuning emas di atasnya.
Trek menuju puncak
“Puncak! terdengar teriakan dari kawan yang
sudah sampai lebih dulu di puncak. Teriakan itu seperti pecut untuk mereka yang
masih tertinggal di bawah. Teriakan itu seolah memberikan suntikan semangat
baru. Puncak sudah dekat! Pendakian malam ini akan segera berakhir!
Kalimat-kalimat sugesti seperti itulah yang mungkin terngiang di kepala setiap
kami yang mendengarkan teriakan dari puncak tadi.
seperti ini
rasanya sayang sekali jika tak diabadikan dengan kamera. Dari kejahuan tampak
sinar mentari yang begitu indah muncul dari kejauhan menampakkan keindahan
salah satu ciptaan-Nya, aku melangkahkan kaki ke puncak utama Gunung
Penanggungan. Dari sana akan terlihat dengan jelas Gunung Arjuna dan Gunung
Welirang. Di timur jauh tampak Gunung Semeru berselimutkan awan dan kabut
tebal. Jauh ke arah barat seharusnya ada Gunung Lawu.
Pagi ini puncak cukup ramai dengan kehadiran serombongan remaja pecinta alam
yang. Ada juga beberapa rombongan dari kampus beken di Surabaya . Bahkan tak
ketinggalan dua orang asing yang ikut menikmati pendakian di trek gunung
Penanggungan. Memang gunung Penanggungan adalah salah satu destinasi bagus
untuk dikunjungi.
Merah Putih Berkibar di Penanggungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar